Rabu, 13 April 2011

PARADIGMA HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA

Pada artikel yang saya buat kali ini akan berkaitan dengan paradigma-paradigma seputar buruh di Indonesia. Saya akan coba mengulas dan memberikan beberapa komentar yang saya rasa cukup penting untuk di utarakan, pertama saya akan bahas ruang lingkupnya dahulu.
Dahulu awal mulanya dunia perburuhan hanya memiliki peraturan hukum perdata, yaitu hokum yang mengatur hubungan hokum antara orang yang satu ngan orang yang lain . namun setelah Indonesia merdeka, hukum mulai berubah. Indonesia mengalami perubahan dan penyempurnaan yang akhirnya terbit UU No.1 tahun 1951 tentang berlakunya UU No.12 tahun 1948 tentang kerja, UU No.22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan, UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok ketenagakerjaan dan lain-lain.
Setelah itu timbullah peringatan hari buruh , ada beberapa peringatan buruh yang kita ketahui peringatan Hari Buruh Internasional telah dilaksanakan sejak 1890, sedangkan peringatan Hari Buruh Nasional dilaksanakan sejak 1920, sejak saat itu sampai dengan sekarang sudah lebih dari 50 tahun berlalu, seharusnya para nasib buruh sudah harus sangat di perhatikan, tapi apa yang terjadi peringatan Hari Buruh di Indonesia, tidak lebih dari sekeda racara tahunan biasa. Buktinya para nasib buruh masih belum ada kepastian yang jelas, sementara peningkatan kesejahteraan buruh yang sangat dinanti belum juga keluar.
Dari artikel yang saya baca pada salah satu media informasi bertuliskan “ Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh BPS, sejak 1999 sampai dengan 2009 rata-rata rasio IHK (Indeks Harga Konsumen) terhadap IUR (Indeks Upah Riil) hanya sebesar 49%. Artinya dalam sepuluh (10) tahun terakhir, peningkatan upah yang berlaku hanya mampu untuk mengkompensasi 49% perkembangan harga barang dan jasa.
Dengan demikian secara rata-rata, upah buruh hanya mampu untuk memenuhi 49% kebutuhan riil buruh. Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh SPN, Garteks SBSI, dan AKATIGA terhadap upah buruh tekstil dan garmen di Indonesia tahun 2009 ditemukan bahwa rata-rata upah total (upah pokok, tunjangan tetap, tunjangan tidak tetap dan lembur) hanya mampu membayar 74,3% rata-rata pengeluaran riil buruh, Upah Minimum Kabupaten (UMK) hanya mampu membayar 62,4% rata-rata pengeluaran riil buruh, dan rata-rata upah pokok yang diterima oleh buruh lebih rendah daripada UMK.”.
Dari artikel diatas sudah jelas bahwa terdapat ketidakadilan bagi kalangan buruh, karena upah buruh hanya mampu untuk memenuhi 49% kebutuhan riil buruh, padahal pada UU UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 21 TAHUN 2000 tentang TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH. Betuliskan
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 25
(1)Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak :
a membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b.mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial;
c.mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
d.membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;
e.melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Pelaksanaan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat berafiliasi dan/atau bekerja sama dengan serikat pekerja/serikat buruh internasional dan/atau organisasi internasional lainnya dengan ketentuan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 27
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berkewajiban
melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kpentingannya
memperjuangkan meningkatkan kesejahteraan anggota dan keluarganya
mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggota sesuai dengan anggaran dasar danjuga anggaran rumah tangga.
Setelah di lihat pada UU perburuhan pasal 27 dapat di pahami bahwa buruh harus mendapatkan kesejahteraannya, di Bantu dan dilindungi, bukannya diperlakukan seperti yang terjadi saat ini,
Misalnya upah buruh hanya mampu untuk memenuhi 49% kebutuhan riil buruh, hal ini harus cepat di tindak dan sesegera mungkin memberikan kesejahteraan bagi anggota buruh di Indonesia karena menurut saya hal itu juga semata-mata untuk meningkatkan produktifitas seorang buruh maupun peningkatan kulitas pekerjaan dari buruh itu sendiri, dengan meningkatnya produktifitas dan kualitas maka secara tidak langsung akan mengangkat segi ekonomi di Indonesia yang semakin baik
Menurut artikel yang saya baca lagi di tuliskan bahwa “Dalam kawasan regional, kesejahteraan buruh Indonesia juga lebih rendah dibandingkan dengan kesejahteraan buruh di negara tetangga,” katanya. Berdasarkan publikasi UNDP 2009, pendapatan perkapita berdasarkan PPP (Purchasing Power Parity/kemampuan daya beli) dan Gini Rasio dari negara Brunai Darusalam, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Indonesia masing-masing adalah: (83.688 USD, 31,2%), (49.704 USD, 36,5%), (13.518 USD, 37,9%), (8.135 USD, 38,5%), dan (3.712 USD, 39,4%).” Sudah jelas bahwa negara kita masih jauh tertinggal dengan negara-negata tetangga lainya
Tambahan dari artikel saya, di bawah ini merupakan pengertian dari hokum-hukum perburuhan
1. Menurut Molenaar : Hukum yang pada pokoknya mengatur hubungan antara majikan dan buruh, buruh dengan buruh dan antara penguasa dengan penguasa.
2. Menurut Levenbach : Sebagai sesuatu yang meliputi hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan.
3. Menurut Van Esveld : Hukum perburuhan tidak hanya meliputi hubungan kerja yang dilakukan dibawah pimpinan, tetapi termasuk pula pekerjaan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab sendiri.
4. Menurut Imam Soepomo : Himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian seseorang bekerja pada orang lain enggan menerima upah.

HUKUM KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang.
Bagaimana K3 dalam perspektif hukum? Ada tiga aspek utama hukum K3 yaitu norma keselamatan, kesehatan kerja, dan kerja nyata. Norma keselamatan kerja merupakan sarana atau alat untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja yang tidak diduga yang disebabkan oleh kelalaian kerja serta lingkungan kerja yang tidak kondusif. Konsep ini diharapkan mampu menihilkan kecelakaan kerja sehingga mencegah terjadinya cacat atau kematian terhadap pekerja, kemudian mencegah terjadinya kerusakan tempat dan peralatan kerja. Konsep ini juga mencegah pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat sekitar tempat kerja.Norma kesehatan kerja diharapkan menjadi instrumen yang mampu menciptakan dan memelihara derajat kesehatan kerja setinggi-tingginya.
K3 dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat kerja, misalnya kebisingan, pencahayaan (sinar), getaran, kelembaban udara, dan lain-lain yang dapat menyebabkan kerusakan pada alat pendengaran, gangguan pernapasan, kerusakan paru-paru, kebutaan, kerusakan jaringan tubuh akibat sinar ultraviolet, kanker kulit, kemandulan, dan lain-lain. Norma kerja berkaitan dengan manajemen perusahaan. K3 dalam konteks ini berkaitan dengan masalah pengaturan jam kerja, shift, kerja wanita, tenaga kerja kaum muda, pengaturan jam lembur, analisis dan pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal-hal tersebut mempunyai korelasi yang erat terhadap peristiwa kecelakaan kerja.
Eksistensi K3 sebenarnya muncul bersamaan dengan revolusi industri di Eropa, terutama Inggris, Jerman dan Prancis serta revolusi industri di Amerika Serikat. Era ini ditandai adanya pergeseran besar-besaran dalam penggunaan mesin-mesin produksi menggantikan tenaga kerja manusia. Pekerja hanya berperan sebagai operator. Penggunaan mesin-mesin menghasilkan barang-barang dalam jumlah berlipat ganda dibandingkan dengan yang dikerjakan pekerja sebelumnya. Revolusi IndustriNamun, dampak penggunaan mesin-mesin adalah pengangguran serta risiko kecelakaan dalam lingkungan kerja. Ini dapat menyebabkan cacat fisik dan kematian bagi pekerja. Juga dapat menimbulkan kerugian material yang besar bagi perusahaan. Revolusi industri juga ditandai oleh semakin banyak ditemukan senyawa-senyawa kimia yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan fisik dan jiwa pekerja (occupational accident) serta masyarakat dan lingkungan hidup.
Pada awal revolusi industri, K3 belum menjadi bagian integral dalam perusahaan. Pada era in kecelakaan kerja hanya dianggap sebagai kecelakaan atau resiko kerja (personal risk), bukan tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini diperkuat dengan konsep common law defence (CLD) yang terdiri atas contributing negligence (kontribusi kelalaian), fellow servant rule (ketentuan kepegawaian), dan risk assumption (asumsi resiko) (Tono, Muhammad: 2002). Kemudian konsep ini berkembang menjadi employers liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab pengusaha, buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar lingkungan kerja.Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda mendesak Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang ditandai dengan penerbitan Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun 1910. Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan beberapa produk hukum yang memberikan perlindungan bagi keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur secara terpisah berdasarkan masing-masing sektor ekonomi. Beberapa di antaranya yang menyangkut sektor perhubungan yang mengatur lalu lintas perketaapian seperti tertuang dalam Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en de Exploitate van Spoor en Tramwegen Bestmend voor Algemene Verkeer in Indonesia (Peraturan umum tentang pendirian dan perusahaan Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas umum Indonesia) dan Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling 1940 (Ordonansi Kecelakaan Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Peraturan Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan sebagainya. Kepedulian Tinggi Pada awal zaman kemerdekaan, aspek K3 belum menjadi isu strategis dan menjadi bagian dari masalah kemanusiaan dan keadilan. Hal ini dapat dipahami karena Pemerintahan Indonesia masih dalam masa transisi penataan kehidupan politik dan keamanan nasional. Sementara itu, pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai dirintis oleh pemerintah dan swasta nasional.
K3 baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin ramainya investasi modal dan pengadopsian teknologi industri nasional (manufaktur). Perkembangan tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang Keselamatan Kerja, sedangkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sebelumnya seperti UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja tidak menyatakan secara eksplisit konsep K3 yang dikelompokkan sebagai norma kerja.Setiap tempat kerja atau perusahaan harus melaksanakan program K3. Tempat kerja dimaksud berdimensi sangat luas mencakup segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang angkasa.
Pengaturan hukum K3 dalam konteks di atas adalah sesuai dengan sektor/bidang usaha. Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan beserta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Selain sekor perhubungan di atas, regulasi yang berkaitan dengan K3 juga dijumpai dalam sektor-sektor lain seperti pertambangan, konstruksi, pertanian, industri manufaktur (pabrik), perikanan, dan lain-lain.Di era globalisasi saat ini, pembangunan nasional sangat erat dengan perkembangan isu-isu global seperti hak-hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan buruh. Persaingan global tidak hanya sebatas kualitas barang tetapi juga mencakup kualitas pelayanan dan jasa. Banyak perusahaan multinasional hanya mau berinvestasi di suatu negara jika negara bersangkutan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup. Juga kepekaan terhadap kaum pekerja dan masyarakat miskin. Karena itu bukan mustahil jika ada perusahaan yang peduli terhadap K3, menempatkan ini pada urutan pertama sebagai syarat investasi.

Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia secara umum meliputi penyelengaraan program-program Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelengaraan program Jamsostek didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada PP No 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP No 69 Tahun 1991, program Asabri didasarkan pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan program Pensiun didasarkan pada UU No 6 Tahun 1966. Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS),dan anggota TNI/Polri.

Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebagaimana didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, pada prinsipnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang mempunyai hubungan industrial) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-program yang terkait dengan risiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua.

Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja yang tidak mampu bekerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas jaminan kematian (JK) berupa biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Apabila pekerja telah mencapai usia 55 tahun atau mengalami cacat total/seumur hidup, mereka berhak untuk memperolah jaminan hari tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala. Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat darurat.

Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi sosial, karena penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan penuh (fully funded system), yang dalam hal ini menjadi beban pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut secara teori merupakan mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial biasanya didasarkan pada fully funded system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal ini pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling tidak pemerintah terikat untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara apabila mengalami defisit. Di sisi lain, apabila penyelenggara program Jamsostek dikondisikan harus dan memperoleh keuntungan, pemerintah akan memperoleh deviden karena bentuk badan hukum Persero.
 
Copyright 2009 sweetrevenge
BLogger Theme by BloggerThemes Wordpress by WPThemescreator
This template is brought to you by : allblogtools.com | Blogger Templates